Liberia. Sebuah negeri di Afrika Barat. Penduduknya hanya 4,3 juta jiwa.
Saat ini pendapatan per kapitanya hanya 200 dolar setahun. Tingkat buta
hurufnya 44,13 persen (2009). Penduduk di bawah garis kemiskinan 56,3
persen (2010). Bandingkan dengan Indonesia. Pendapatan per kapitanya
hampir mencapai 4.000 dolar AS setahun. Tingkat buta huruf hanya sekitar
7 persen. Penduduk di bawah garis kemiskinan 12 persen (29 juta jiwa).
Itu kondisi saat ini. Siapa sangka pada 1980 pendapatan per kapita Liberia 1.765 dolar AS. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia saat itu. Pada akhir Orde Baru saja, pendapatan perkapita Indonesia masih kisaran 1.000 dolar AS. Sebelum runtuh, Liberia sudah masuk kategori negeri berpendapatan menengah. Rupanya ada yang salah dalam pengelolaan negeri itu. Angka-angka makro tampak bagus. Namun di tingkat mikro sangat mengerikan. Saat itu, 3,9 persen penduduk mengontrol 60 persen ekonomi Liberia. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di angka 7 persen per tahun sejak 1955 hingga 1975 pun lebih dipacu oleh perusahaan-perusahaan asing. Mereka bergelut di sektor tambang bijih besi, karet, dan kayu. Rata-rata tingkat pendidikan penduduknya pun hanya 1,3 tahun.
Ketidakadilan ekonomi itu memicu konflik politik. Dimulai dengan kudeta militer pada 1980. Sejak 1989 terjadi perang saudara, berakhir pada 2003. Ekonomi merosot 90 persen. Liberia berubah dari negara berpendapatan menengah menjadi negeri terbelakang.
Kini Indonesia sedang bangga-bangganya dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten di kisaran 6-7 persen, lonjakan pendapatan per kapita, menurunnya angka kemiskinan. Jumlah penduduk yang besar, sumberdaya alam berlimpah, stabilitas politik dan keamanan, serta surplus demografi. Indonesia sedang menjadi pusat perhatian dunia. Namun ada yang mengkhawatirkan, walau tak sekontras Liberia di masa lalu. Indeks gini rasio saat ini 0,41. Sudah di atas akhir Orde Lama, yaitu 0,40. Jurang antara yang kaya dan miskin makin lebar. Jauh lebih lebar dibandingkan di masa Orde Baru yang 0,32. Ada 99 juta penduduk miskin (berpendapatan Rp 250 ribu per kapita per bulan) dan hampir miskin (Rp 370 ribu). Mereka tertinggal oleh 100 juta penduduk kelas menengah (Rp 750 ribu) dan 50 juta penduduk kelas atas.
Tentu situasinya tak sedramatis Liberia. Tingkat buta huruf di Indonesia sangat rendah. Peran asing pun tak dominan. Namun kecenderungan meningkatnya jurang kaya-miskin hingga kini belum ada solusi yang sistematis. Harus diakui, pemerintah lebih mengejar pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan pemerataan ekonomi. Lebih parah dibandingkan masa Orde Baru. Program Kredit Usaha Rakyat yang ditujukan untuk masyarakat hampir miskin (70 juta jiwa), ternyata lebih banyak diserap kelas menengah. Pada sisi lain, demokrasi di tengah ketidaksetaraan sosial-ekonomi hanya melahirkan oligarki. Demokrasi menjadi dibajak dan dikendalikan kaum kapitalis. Demokrasi yang semestinya menjadi instrumen kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial justru menjadi pengesahan terhadap berbagai praktik curang.
Kita bisa merasakan ketidakberdayaan publik terhadap korupsi yang makin menggila. Publik juga tak berdaya terhadap berbagai kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dominasi asing di sektor migas, banjir buah impor, sulitnya berswasembada pangan. Jika kita rajin mencatat daftar orang kaya yang dirilis majalah Forbes maka kita akan mendapati total penguasaan ekonomi segelintir orang terhadap ekonomi nasional. Angkanya bisa fantastis. Kita juga bisa menyaksikan hanya partai yang didukung konglomerat yang bisa meraup kursi besar. Hanya kandidat yang didukung konglomerat yang bisa menjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Lalu mereka akan mengeksploitasi APBN/APBD, menguasai perizinan dan konsesi, dan seterusnya.
Jika semua kecenderungan itu tak kita hentikan maka tunggu kehancurannya saja, seperti Liberia. Bukankah kita sudah merasakan makin banyaknya pengemis? Bukankah kita sudah menyaksikan absennya kemanusiaan dan kepemimpinan ketika ada ayah yang harus keliling di delapan rumah sakit hingga akhirnya bayi merahnya mati? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya anak-anak yang tak bisa melanjutkan sekolah? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya gelandangan? Bukankah kita menyaksikan makin tak mampunya penduduk desa untuk bepergian ke kota? Kita jangan berharap pada kebaikan pemimpin, karena kita tak memiliki pemimpin seperti Mahathir Mohamad, Lee Kuan Yew, atau Recep Tayip Erdogan. Rakyat lah yang harus mengubahnya. Kita semua.
Pada hakikatnya sistem kita sudah bagus, perangkat hukum kita sudah mencukupi. Yang tidak kita punya adalah pemimpin yang baik. Jangan pula salah sangka, kita butuh pemimpin yang kuat. Sistem demokrasi tak mensyaratkan itu. Mari kita membangun kesadaran bahwa semua itu dimulai dari kita: pilihlah pemimpin yang baik. Bukan yang kaya, bukan yang pandai, bukan yang kuat.
Itu kondisi saat ini. Siapa sangka pada 1980 pendapatan per kapita Liberia 1.765 dolar AS. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia saat itu. Pada akhir Orde Baru saja, pendapatan perkapita Indonesia masih kisaran 1.000 dolar AS. Sebelum runtuh, Liberia sudah masuk kategori negeri berpendapatan menengah. Rupanya ada yang salah dalam pengelolaan negeri itu. Angka-angka makro tampak bagus. Namun di tingkat mikro sangat mengerikan. Saat itu, 3,9 persen penduduk mengontrol 60 persen ekonomi Liberia. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di angka 7 persen per tahun sejak 1955 hingga 1975 pun lebih dipacu oleh perusahaan-perusahaan asing. Mereka bergelut di sektor tambang bijih besi, karet, dan kayu. Rata-rata tingkat pendidikan penduduknya pun hanya 1,3 tahun.
Ketidakadilan ekonomi itu memicu konflik politik. Dimulai dengan kudeta militer pada 1980. Sejak 1989 terjadi perang saudara, berakhir pada 2003. Ekonomi merosot 90 persen. Liberia berubah dari negara berpendapatan menengah menjadi negeri terbelakang.
Kini Indonesia sedang bangga-bangganya dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten di kisaran 6-7 persen, lonjakan pendapatan per kapita, menurunnya angka kemiskinan. Jumlah penduduk yang besar, sumberdaya alam berlimpah, stabilitas politik dan keamanan, serta surplus demografi. Indonesia sedang menjadi pusat perhatian dunia. Namun ada yang mengkhawatirkan, walau tak sekontras Liberia di masa lalu. Indeks gini rasio saat ini 0,41. Sudah di atas akhir Orde Lama, yaitu 0,40. Jurang antara yang kaya dan miskin makin lebar. Jauh lebih lebar dibandingkan di masa Orde Baru yang 0,32. Ada 99 juta penduduk miskin (berpendapatan Rp 250 ribu per kapita per bulan) dan hampir miskin (Rp 370 ribu). Mereka tertinggal oleh 100 juta penduduk kelas menengah (Rp 750 ribu) dan 50 juta penduduk kelas atas.
Tentu situasinya tak sedramatis Liberia. Tingkat buta huruf di Indonesia sangat rendah. Peran asing pun tak dominan. Namun kecenderungan meningkatnya jurang kaya-miskin hingga kini belum ada solusi yang sistematis. Harus diakui, pemerintah lebih mengejar pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan pemerataan ekonomi. Lebih parah dibandingkan masa Orde Baru. Program Kredit Usaha Rakyat yang ditujukan untuk masyarakat hampir miskin (70 juta jiwa), ternyata lebih banyak diserap kelas menengah. Pada sisi lain, demokrasi di tengah ketidaksetaraan sosial-ekonomi hanya melahirkan oligarki. Demokrasi menjadi dibajak dan dikendalikan kaum kapitalis. Demokrasi yang semestinya menjadi instrumen kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial justru menjadi pengesahan terhadap berbagai praktik curang.
Kita bisa merasakan ketidakberdayaan publik terhadap korupsi yang makin menggila. Publik juga tak berdaya terhadap berbagai kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dominasi asing di sektor migas, banjir buah impor, sulitnya berswasembada pangan. Jika kita rajin mencatat daftar orang kaya yang dirilis majalah Forbes maka kita akan mendapati total penguasaan ekonomi segelintir orang terhadap ekonomi nasional. Angkanya bisa fantastis. Kita juga bisa menyaksikan hanya partai yang didukung konglomerat yang bisa meraup kursi besar. Hanya kandidat yang didukung konglomerat yang bisa menjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Lalu mereka akan mengeksploitasi APBN/APBD, menguasai perizinan dan konsesi, dan seterusnya.
Jika semua kecenderungan itu tak kita hentikan maka tunggu kehancurannya saja, seperti Liberia. Bukankah kita sudah merasakan makin banyaknya pengemis? Bukankah kita sudah menyaksikan absennya kemanusiaan dan kepemimpinan ketika ada ayah yang harus keliling di delapan rumah sakit hingga akhirnya bayi merahnya mati? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya anak-anak yang tak bisa melanjutkan sekolah? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya gelandangan? Bukankah kita menyaksikan makin tak mampunya penduduk desa untuk bepergian ke kota? Kita jangan berharap pada kebaikan pemimpin, karena kita tak memiliki pemimpin seperti Mahathir Mohamad, Lee Kuan Yew, atau Recep Tayip Erdogan. Rakyat lah yang harus mengubahnya. Kita semua.
Pada hakikatnya sistem kita sudah bagus, perangkat hukum kita sudah mencukupi. Yang tidak kita punya adalah pemimpin yang baik. Jangan pula salah sangka, kita butuh pemimpin yang kuat. Sistem demokrasi tak mensyaratkan itu. Mari kita membangun kesadaran bahwa semua itu dimulai dari kita: pilihlah pemimpin yang baik. Bukan yang kaya, bukan yang pandai, bukan yang kuat.
Dikutip dari ROL, dan ditulis oleh Nasihin Masha
0 komentar:
Posting Komentar