KH. Muhammad Kholil adalah sosok kyai kharismatik yang alim dalam
ilm agama, beliau dikenal sebagai ahli fiqih dan ilm alat (nahwu dan shorof),
beliau juga dikenal sebagai orang yang sakti werh sakdurunge winarah menurut
banyak pihak, dalam hal terakhir inilah beliau lebih dikenal. Dari tangan
dingin beliau lahir kiai-kiai ternama baik di pulau Madura maupun di jawa. Diantara
murid-murid beliau yang terkenal adalah:
1.
KH. Hasyim Asy’ari, pengash dan
pendiri Tebu ireng, jombang.
2.
KH. Wahab Hasbulloh, pengasuh dan
pendiri Tambak Beras, Jombang.
3.
KH. Bisri Syansuri, pengasuh dan
pendiri Denanyar, Jombang.
4.
KH. Bisri Musthofa, pendiri dan
pengasuh pesantren Rembang.
5.
KH. Abdl Karim, pendiri dan pengash
Lirboyo, Kediri.
6.
KH. Munawwir, pendiri dan pengasuh
pesantren Krapyak, Jogjakarta.
7.
Ir. Soekarno, presiden R.I. pertama.
KIPRAHNYA dalam
PEMBENTUKAN NU
Peran Kiai
Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal
ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari,
menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu
digarisbawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh
tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.
Mengulas
kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924,
saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar
(potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup
ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari
kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat
Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang
pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya
kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi)
yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi.
Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk
mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada
persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak
terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada
saat itu.
Namun, Kiai
Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut.
Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon
petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu,
Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati
kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang
masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini, Kiai
Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai
Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil
menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada
Kiai Hasyim ayat-ayat ini: Wama tilka biyaminika ya musa, Qala hiya
‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa abusyyu biha ‘ala ghanami waliya fiha
ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala
Khudzha wa la takhof sanu’iduha sirathal ula wadhumm yadaka ila janahika
takhruj baidha’a min ghiri su’in ayatan ukhra linuriyaka min ayatil
kubra.” Pesan Kiai Khalil.
As’ad segera
pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri
pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil
datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut
benar adanya.
“Kiai, saya
diutus Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.”
Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah
tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang
harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.
“Ada Kiai,”
jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Khalil.
Mendengar ayat
yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang
wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa
gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah.
Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikanJam’iyah semakin dimatangkan.
Hari berganti
hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang
diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul
lagi.
“Kiai, saya
diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad.
“Kiai juga
diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap
waktu,” tambah As’ad.
Sekali lagi,
pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk
mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Khalil
meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa
terwujud.
Baru setahun kemudian,
tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan
diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi
itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana
Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU
dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan
tasbih itu diterimanya dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini
sebagai salah satu Wali Allah.
KAROMAH KH. KHOLIL
Debat
kepiting dan Rajungan
Pada suatu hari, para ulama Mekah berkumpul
di Masjidil Haram untuk berdiskusi membahas masalah dan hukum Islam yang sedang
terjadi di Makah. Semua persoalan didiskusikan tanpa hambatan dan selalu
mendapatkan solusi dan kesepakatan semua Ulama tersebut. Akan tetapi pada
masalah mengenai halal atau haramnya kepiting dan rajungan terjadi banyak
pendapat dan tidak menemukan solusi.
Kyai Kholil pada waktu itu berada diantara
peserta diskusi sambil mendengarkan dengan tekun sambil sekali-sekali tersenyum
melihat silang pendapat para peserta diskusi. Melihat jalan buntu permasalahan
yang ada dihadapnya, Kyai Kholil minta izin untuk menawarkan solusi untuk
masalah tersebut. Akhirnya Kyai Kholil dipersilahkan untuk naik ke atas mimbar
oleh pimpinan diskusi.
Setelah tiba diatas mimbar, Kyai Kholil
berkata, “ Saudara sekalian, ketidaksepakatan kita dalam menentukan hukum
kepiting dan rajungan ini menurut saya disebabkan karena saudara sekalian belum
melihat secara pasti wujud kepiting dan rajungan” ujar kyai Kholil. Semua ulama
yg hadir dalam diskusi tersebut menyetujui keterangan kyai Kholil tersebut.
“ saudara sekalian, adapun wujud kepiting
seperti ini” ucap kyai Kholil sambil memegang kepiting yang masih basah.
“sedangkan yang rajungan seperti ini” lanjut Kyai Kholil sambil memegang
rajungan yang masih basah, seakan baru mengambil dari laut. Semua hadirin
merasa terpana dan suasana menjadi gaduh karna keanehan tersebut. Mereka hanya
bisa merasa heran dan bingung dari mana sang Kyai Kholil mendapatkankepiting dan
rajungan dengan sekejap saja. Maka setelah kejadian tersebut, masalah halal
atau haramnya kepiting dan rajungan telah menemukan solusinya. Sejak kejadian
itu, Kyai Kholil menjadi ulama yg disegani di antara ulama Masjidil Haram.
0 komentar:
Posting Komentar