"Kalau engkau mencari kebenaran maka jalannya bukan cinta, apalagi
kebencian. Jalan menuju kebenaran adalah ilmu. Kalau menilai sesuatu itu
dengan ilmu, bukan dengan benci atau senang. Jadi cinta itu maqamnya
lain, thariqahnya beda, wasilahnya beda. Meski setelah lengkap, akan
bertemu juga dengan cinta," demikian ungkap Cak Nun mengawali uraiannya
di majelis ilmu Gambang Syafaat 25 Februari 2008 di aula Masjid
Baiturrahman Simpang Lima Semarang.
Uraian Cak Nun tersebut
merupakan respons atas narasi dua Kiai yang malam itu hadir yaitu KH
Nuril Arifin dan KH Budi Hardjono. Keduanya memaparkan semesta cinta.
Cinta kepada Allah. Cinta kepada Rasul. Cinta kepada para kekasih Allah.
Cinta kepada sesama. Gus Nuril, sapaan akrab KH Nuril Arifin, misalnya,
yang bersurban putih dengan rambut gondrong tergerai mensinyalir
sekarang banyak yang mengaku sufi seperti terlihat dari kostumnya.
Detailnya, Gus Nuril juga memberikan contoh model-model orang yang
bermaksud menempuh sufisme tetapi malah tidak pas sembari menceritakan
keunikan sosok sufi agung Syaikh Abdul Qadir Al Jilani, utamanya dalam
hubungannya dengan murid-murid Syaikh Abdul Qadir. Bagi Gus Nuril,
Syariat adalah jalan besar, sedang tasawuf adalah jalan kecil tetapi
berliku-liku.
Sementara itu, merespons Gus Nuril, Kiai Budi
segera melantunkan judan judan ya allah khubban khubban ya Allah, sebuah
senandung cinta kepada Allah. Baru setelah itu Kiai Budi mengembara
memetik ilmu-ilmu cinta dari para pesohor seperti Iqbal dan Jalaluddin
Rumi. Tentu dengan gayanya yang khas dan mengundang tawa.
Usai
Kiai Budi, giliran tamu dari Hizbut Tahrir Indonesia DPW Semarang. Mas
Abdullah, sang juru bicara, memberikan tantangan menarik. Menurutnya,
cinta itu butuh bukti. Dan yang bisa membuktikan adalah diri kita dan
Allah. Begitu pula dengan cinta kepada Rasul. Lantas Mas Abdullah
mengajak para hadirin untuk membutikan cinta kepada Nabi dalam konteks
dimuatnya kembali gambar atau kartun-kartun yang menghina Nabi oleh
sebelas media massa di denmark, termasuk Jyllands-Posten pada 13
Februari 2008. Seperti diketahui, Hizbut Tahrir mengeluarkan pernyataan
resmi mengutuk keras pemuatan ulang kartun Nabi Muhammad itu.
Menanggapi
ketiga pembicara itu, Cak Nun menegaskan prinsip dasar bahwa seluruh
gejala alam dan peradaban itu memiliki sifat-sifat yaitu materi, energi,
dan frekuensi. Cak Nun mencontohkan bahwa pelaksanaan khilafah harus
dipertimbangkan apakah akan  diletakkan pada tataran energi,
frekuensi, atau materi. Terkait dengan pemuatan kartun Nabi, Cak Nun
mengajak para jamaah untuk membuka kembali sejarah perjuangan Nabi
Muhammad.
Cak Nun mengingatkan untuk menilik hijrah Nabi ke
Thaif. Di sana Rasul dilempari batu dan dilempari kotoran oleh
orang-orang kafir. Dan Nabi justru mendoakan mereka. Allahummahdi qaumi
fainnahum la ya'lamun (Ya Allah berilah petunjuk kaumku, sesungguhnya
mereka tidak mengerti). Cak Nun kemudian bertanya kepada jamaah,
“Kira-kira Rasul kalau tahu karikatur itu, apa ya diucapkannya?",
Jamaah menjawab, "Allahummahdi qaumi..." Jika seperti itu, beranikah
Anda tidak bilang seperti itu? Beranikah Anda mengucapkan sesuatu yang
berbeda dengan ucapan Nabi?" tanya Cak Nun. Lebih jauh, Cak Nun
menerangkan, "bagi orang yang tahu bahwa cinta Allah kepada Islam begitu
besar, maka tak ada kesedihan. Itu layaknya kakang kawah adi ari-ari.
Tahun 2012 dan 2015 akan terjadi sesuatu."
Masih kata Cak Nun,
"siapa orang kafir yang paling melawan Rasul. Abu Jahal. Abu Sufyan,
dll. Pada saat fathu makkah, Rasul berbicara di depan orang-orang Islam
dan musuh-musuh mereka. Hadzal yaum laisa yaumul malhamah wa lakin
hadzal yaum yaumul markhamah wa antumut tulaqa'. Hari ini bukanlah hari
kebencian, tetapi hari ini adalah hari kasih sayang. Dan kalian (para
tawanan) adalah orang-orang yang saya bebaskan/merdekakan....," tutur
Cak Nun.
Puncaknya, Cak Nun berharap, "Saya ingin dua kalimat
Rasul itu muncul secara resmi oleh HTI. Cinta saya kepada Rasul tidak
berkurang sedikit pun oleh penghinaan itu. Kasih sayang Rasul lebih luas
dari semesta. Rasul bersegera kepada Allah untuk memintakan ampun bagi
mereka. Cinta jangan membikin gupuh. Cinta jangan sampai bikin gampang
jatuh, jangan gampang marah. HTI jangan terlalu materi. PKS saja sudah
mulai ke Frekuensi. Kalau bicara syariat, syariat itu materi. Syariat
ojo diomongno (jangan dibicara-bicarakan). Lakunono (Laksanakan).
Jadikan ia energi sejarah. Tetapi saya faham dan mengerti semangat
Anda.... Dunia lebih kecil dari Anda. Jangan Anda lebih kecil. Pangkulah
dunia."
Melanjutkan pembicaraan tentang cinta, Cak Nun
menguraikan, "menurut saya, jangan sampai kita terjebak pada madzhab.
Siapa yang paling cinta dan dicintai Allah, yaitu Muhammad. Puncak
gunung cinta adalah Muhammad. Ujung-ujunganya ketemu Rasulullah. Rasul
juga madinatul ilmi. Di puncak ilmu, kita juga bertemu Rasulullah. Musa
adalah lambang kebenaran (al-Haq), maka dia ingin sekali memandang
"secara ilmiah" wajah Allah. Dan tidak bisa. Sementara Isa adalah
lambang cinta.
Adapun Rasulullah adalah amir atau manajer yang
mengerti kapan cinta ditonjolkan dan kapan ilmu ditekankan. Dalam kasus
Pak Harto, kita salah-salah menempatkan cinta dan ilmu….Kalau
kepada Allah pakailah cinta. Mencari Allah dengan ilmu tidak bisa.
Kepada Allah ilmu tak bisa diandalkan. Kekayaan tak bisa. Kepada Allah
setorlah zuhud serta setor rasa bodoh. Sementara secara horisontal,
diperlukan ilmu, maka ayat pertama berbunyi Iqra' bismi rabbikal ladzi
khalaq...alladzi allama bil qalam. Qalam adalah perlambang yang harus
dicari dalam hubungan dengan maintenance pendidikan. Yang dibutuhkan
untuk ilmu adalah qalam. Jadi, jangan madzhabkan cinta."
Lebih
jauh Cak Nun menambahkan, "sifat materi itu adalah penjumlahan atau
pengurangan. Sedang energi/ilmu bersifat bertambah bertambah. Cintamu
kepada Indonesia itu materi atau energi? Cinta tak bisa dibagi 30% untuk
ini, 40% untuk itu, dan sisanya untuk yang lain. Yang benar adalah
cinta Indonesia 100%, cinta anak 100%, cinta kepada Allah juga 100%. Itu
semua karena cinta bukan materi. Cinta kepada Anak 100% tidak bersaing
dengan cinta kepada Allah. Itulah sebabnya, sering Islam dipersaingkan
demokrasi. Itu pula yang membikin HTI marah....."
Malam itu
benar-benar Gambang Syafaat bertabur ilmu dan kasih sayang Allah. Semua
yang hadir berada dalam hubungan ukhuwah yang saling memuliakan.
Termasuk Pak Harwanto Dahlan yang menambah mesra dan hidup forum malam
ini. Juga kawan-kawan IKAMABA Voice. Lebih-lebih Mbak Elin dari Swedia
yang sedang riset tentang Sufisme dan politik di Indonesia. Pastilah
tema yang dibicarakan pada kesempatan itu sangat relevan dan pas dengan
kajiannya. Last but not least, dua Kiai kita, Kiai Budi dan Gus Nuril
memperlihatkan kemesraan yang dilandasi ilmu dan cinta.
Rabu, 27 Februari 2013
Kamis, 21 Februari 2013
INDONESIA TAK BOLEH MENITI JALAN LIBERIA
Liberia. Sebuah negeri di Afrika Barat. Penduduknya hanya 4,3 juta jiwa.
Saat ini pendapatan per kapitanya hanya 200 dolar setahun. Tingkat buta
hurufnya 44,13 persen (2009). Penduduk di bawah garis kemiskinan 56,3
persen (2010). Bandingkan dengan Indonesia. Pendapatan per kapitanya
hampir mencapai 4.000 dolar AS setahun. Tingkat buta huruf hanya sekitar
7 persen. Penduduk di bawah garis kemiskinan 12 persen (29 juta jiwa).
Itu kondisi saat ini. Siapa sangka pada 1980 pendapatan per kapita Liberia 1.765 dolar AS. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia saat itu. Pada akhir Orde Baru saja, pendapatan perkapita Indonesia masih kisaran 1.000 dolar AS. Sebelum runtuh, Liberia sudah masuk kategori negeri berpendapatan menengah. Rupanya ada yang salah dalam pengelolaan negeri itu. Angka-angka makro tampak bagus. Namun di tingkat mikro sangat mengerikan. Saat itu, 3,9 persen penduduk mengontrol 60 persen ekonomi Liberia. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di angka 7 persen per tahun sejak 1955 hingga 1975 pun lebih dipacu oleh perusahaan-perusahaan asing. Mereka bergelut di sektor tambang bijih besi, karet, dan kayu. Rata-rata tingkat pendidikan penduduknya pun hanya 1,3 tahun.
Ketidakadilan ekonomi itu memicu konflik politik. Dimulai dengan kudeta militer pada 1980. Sejak 1989 terjadi perang saudara, berakhir pada 2003. Ekonomi merosot 90 persen. Liberia berubah dari negara berpendapatan menengah menjadi negeri terbelakang.
Kini Indonesia sedang bangga-bangganya dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten di kisaran 6-7 persen, lonjakan pendapatan per kapita, menurunnya angka kemiskinan. Jumlah penduduk yang besar, sumberdaya alam berlimpah, stabilitas politik dan keamanan, serta surplus demografi. Indonesia sedang menjadi pusat perhatian dunia. Namun ada yang mengkhawatirkan, walau tak sekontras Liberia di masa lalu. Indeks gini rasio saat ini 0,41. Sudah di atas akhir Orde Lama, yaitu 0,40. Jurang antara yang kaya dan miskin makin lebar. Jauh lebih lebar dibandingkan di masa Orde Baru yang 0,32. Ada 99 juta penduduk miskin (berpendapatan Rp 250 ribu per kapita per bulan) dan hampir miskin (Rp 370 ribu). Mereka tertinggal oleh 100 juta penduduk kelas menengah (Rp 750 ribu) dan 50 juta penduduk kelas atas.
Tentu situasinya tak sedramatis Liberia. Tingkat buta huruf di Indonesia sangat rendah. Peran asing pun tak dominan. Namun kecenderungan meningkatnya jurang kaya-miskin hingga kini belum ada solusi yang sistematis. Harus diakui, pemerintah lebih mengejar pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan pemerataan ekonomi. Lebih parah dibandingkan masa Orde Baru. Program Kredit Usaha Rakyat yang ditujukan untuk masyarakat hampir miskin (70 juta jiwa), ternyata lebih banyak diserap kelas menengah. Pada sisi lain, demokrasi di tengah ketidaksetaraan sosial-ekonomi hanya melahirkan oligarki. Demokrasi menjadi dibajak dan dikendalikan kaum kapitalis. Demokrasi yang semestinya menjadi instrumen kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial justru menjadi pengesahan terhadap berbagai praktik curang.
Kita bisa merasakan ketidakberdayaan publik terhadap korupsi yang makin menggila. Publik juga tak berdaya terhadap berbagai kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dominasi asing di sektor migas, banjir buah impor, sulitnya berswasembada pangan. Jika kita rajin mencatat daftar orang kaya yang dirilis majalah Forbes maka kita akan mendapati total penguasaan ekonomi segelintir orang terhadap ekonomi nasional. Angkanya bisa fantastis. Kita juga bisa menyaksikan hanya partai yang didukung konglomerat yang bisa meraup kursi besar. Hanya kandidat yang didukung konglomerat yang bisa menjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Lalu mereka akan mengeksploitasi APBN/APBD, menguasai perizinan dan konsesi, dan seterusnya.
Jika semua kecenderungan itu tak kita hentikan maka tunggu kehancurannya saja, seperti Liberia. Bukankah kita sudah merasakan makin banyaknya pengemis? Bukankah kita sudah menyaksikan absennya kemanusiaan dan kepemimpinan ketika ada ayah yang harus keliling di delapan rumah sakit hingga akhirnya bayi merahnya mati? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya anak-anak yang tak bisa melanjutkan sekolah? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya gelandangan? Bukankah kita menyaksikan makin tak mampunya penduduk desa untuk bepergian ke kota? Kita jangan berharap pada kebaikan pemimpin, karena kita tak memiliki pemimpin seperti Mahathir Mohamad, Lee Kuan Yew, atau Recep Tayip Erdogan. Rakyat lah yang harus mengubahnya. Kita semua.
Pada hakikatnya sistem kita sudah bagus, perangkat hukum kita sudah mencukupi. Yang tidak kita punya adalah pemimpin yang baik. Jangan pula salah sangka, kita butuh pemimpin yang kuat. Sistem demokrasi tak mensyaratkan itu. Mari kita membangun kesadaran bahwa semua itu dimulai dari kita: pilihlah pemimpin yang baik. Bukan yang kaya, bukan yang pandai, bukan yang kuat.
Itu kondisi saat ini. Siapa sangka pada 1980 pendapatan per kapita Liberia 1.765 dolar AS. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia saat itu. Pada akhir Orde Baru saja, pendapatan perkapita Indonesia masih kisaran 1.000 dolar AS. Sebelum runtuh, Liberia sudah masuk kategori negeri berpendapatan menengah. Rupanya ada yang salah dalam pengelolaan negeri itu. Angka-angka makro tampak bagus. Namun di tingkat mikro sangat mengerikan. Saat itu, 3,9 persen penduduk mengontrol 60 persen ekonomi Liberia. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di angka 7 persen per tahun sejak 1955 hingga 1975 pun lebih dipacu oleh perusahaan-perusahaan asing. Mereka bergelut di sektor tambang bijih besi, karet, dan kayu. Rata-rata tingkat pendidikan penduduknya pun hanya 1,3 tahun.
Ketidakadilan ekonomi itu memicu konflik politik. Dimulai dengan kudeta militer pada 1980. Sejak 1989 terjadi perang saudara, berakhir pada 2003. Ekonomi merosot 90 persen. Liberia berubah dari negara berpendapatan menengah menjadi negeri terbelakang.
Kini Indonesia sedang bangga-bangganya dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten di kisaran 6-7 persen, lonjakan pendapatan per kapita, menurunnya angka kemiskinan. Jumlah penduduk yang besar, sumberdaya alam berlimpah, stabilitas politik dan keamanan, serta surplus demografi. Indonesia sedang menjadi pusat perhatian dunia. Namun ada yang mengkhawatirkan, walau tak sekontras Liberia di masa lalu. Indeks gini rasio saat ini 0,41. Sudah di atas akhir Orde Lama, yaitu 0,40. Jurang antara yang kaya dan miskin makin lebar. Jauh lebih lebar dibandingkan di masa Orde Baru yang 0,32. Ada 99 juta penduduk miskin (berpendapatan Rp 250 ribu per kapita per bulan) dan hampir miskin (Rp 370 ribu). Mereka tertinggal oleh 100 juta penduduk kelas menengah (Rp 750 ribu) dan 50 juta penduduk kelas atas.
Tentu situasinya tak sedramatis Liberia. Tingkat buta huruf di Indonesia sangat rendah. Peran asing pun tak dominan. Namun kecenderungan meningkatnya jurang kaya-miskin hingga kini belum ada solusi yang sistematis. Harus diakui, pemerintah lebih mengejar pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan pemerataan ekonomi. Lebih parah dibandingkan masa Orde Baru. Program Kredit Usaha Rakyat yang ditujukan untuk masyarakat hampir miskin (70 juta jiwa), ternyata lebih banyak diserap kelas menengah. Pada sisi lain, demokrasi di tengah ketidaksetaraan sosial-ekonomi hanya melahirkan oligarki. Demokrasi menjadi dibajak dan dikendalikan kaum kapitalis. Demokrasi yang semestinya menjadi instrumen kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial justru menjadi pengesahan terhadap berbagai praktik curang.
Kita bisa merasakan ketidakberdayaan publik terhadap korupsi yang makin menggila. Publik juga tak berdaya terhadap berbagai kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dominasi asing di sektor migas, banjir buah impor, sulitnya berswasembada pangan. Jika kita rajin mencatat daftar orang kaya yang dirilis majalah Forbes maka kita akan mendapati total penguasaan ekonomi segelintir orang terhadap ekonomi nasional. Angkanya bisa fantastis. Kita juga bisa menyaksikan hanya partai yang didukung konglomerat yang bisa meraup kursi besar. Hanya kandidat yang didukung konglomerat yang bisa menjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Lalu mereka akan mengeksploitasi APBN/APBD, menguasai perizinan dan konsesi, dan seterusnya.
Jika semua kecenderungan itu tak kita hentikan maka tunggu kehancurannya saja, seperti Liberia. Bukankah kita sudah merasakan makin banyaknya pengemis? Bukankah kita sudah menyaksikan absennya kemanusiaan dan kepemimpinan ketika ada ayah yang harus keliling di delapan rumah sakit hingga akhirnya bayi merahnya mati? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya anak-anak yang tak bisa melanjutkan sekolah? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya gelandangan? Bukankah kita menyaksikan makin tak mampunya penduduk desa untuk bepergian ke kota? Kita jangan berharap pada kebaikan pemimpin, karena kita tak memiliki pemimpin seperti Mahathir Mohamad, Lee Kuan Yew, atau Recep Tayip Erdogan. Rakyat lah yang harus mengubahnya. Kita semua.
Pada hakikatnya sistem kita sudah bagus, perangkat hukum kita sudah mencukupi. Yang tidak kita punya adalah pemimpin yang baik. Jangan pula salah sangka, kita butuh pemimpin yang kuat. Sistem demokrasi tak mensyaratkan itu. Mari kita membangun kesadaran bahwa semua itu dimulai dari kita: pilihlah pemimpin yang baik. Bukan yang kaya, bukan yang pandai, bukan yang kuat.
Dikutip dari ROL, dan ditulis oleh Nasihin Masha
Kamis, 14 Februari 2013
KISAH CAK NUN dan KIAI KANJENG
Menyebut nama KiaiKanjeng mengantar ingatan segera tertuju pada,
pertama, Cak Nun, dan kedua, gamelan. Cak Nun? Ya, karena sesungguhnya
harus diakui komposisi KiaiKanjeng — Cak Nun merupakan suatu gumpalan
kekuatan yang dahsyat dan fenomenal. Komposisi inilah yang mengantarkan
persenyawaan KiaiKanjeng — Cak Nun, sampai sejauh ini, mampu menembus
begitu banyak dimensi nilai dan kehidupan yang belum tentu sanggup
digapai kelompok-kelompok musik lainnya. Komposisi ini membuat
KiaiKanjeng bukan sekadar kelompok musik. Minimal, itu disebabkan karena
KiaiKanjeng adalah kelompok musik yang bisa digambarkan melalui
kerangka plus. Kira-kira seperti ini maksudnya.
Tahun 1996, bersama Cak Nun, KiaiKanjeng meluncurkan album Kado
Muhammad. Sambutan masyarakat sangat luar biasa. Hit dalam album itu
adalah Tombo Ati yang dilantunkan Cak Nun diawali dengn bait-bait puisi.
Shalawat dan syiir-syiir khasanah masyarakat Islam mendapat perhatian
secara nasional. Lagu Tombo Ati dilantunkan di berbagai forum.
KiaiKanjeng ikut menaikkan harga diri kultural umat Islam. Mungkin ada
kaitannya, mungkin juga tidak, setelah itu banyak album-album ”religi”
muncul dengan mengambil shalawat-shalawat atau syiir populer di
masyarakat sebagai materinya. Dengan kata lain, KiaiKanjeng adalah
kelompok musik plus menampilkan, menghargai, dan menghidupkan kekayaaan
budaya Islam di tanah air (walaupun mungkin tidak disebut-sebut oleh
generasi sesudahnya, yang juga meluncurkan album-album musik keislaman,
dalam sejumlah wawancara mereka sebagai bagian dari kontinuitas sejarah
musik Islam di Indonesia).
KiaiKanjeng pentas bersama Cak Nun di Bojonegoro untuk mempertemukan
para blandong dengan pemerintah (Perhutani) yang saat itu sedang
berkonflik. Begitu pula di Pati, antara masyarakat petani dengan
pemerintah. Juga sewaktu KiaiKanjeng dan Cak Nun hadir di Kalimantan di
antara masyarakat Dayak dan Sampit yang sedang panas-panasnya
bertikai. Di situ KiaiKanjeng ikut memberikan pelumas jiwa melalui lagu,
wirid, dan sholawat mendampingi proses pencegahan konflik
vertikal-horisontal yang dilakukan oleh Cak Nun. Karena itu KiaiKanjeng
adalah kelompok musik plus ikut mengerjakan upaya pencegahan konflik.
KiaiKanjeng sudah mengembara jauh hingga di Napoli (7 April 2005) dan
mendapat penghargaan luar biasa oleh masyarakat (musik) di sana, bahkan
notasi KiaiKanjeng dari dua karyanya, Pembuko I dan Pembuko II,
dan sebuah alat musiknya yakni Demung ditinggal di sana dan diabadikan
di museum musik klasik dunia. Cak Nun bahkan disebut-sebut sebagai
maestro, padahal ia sendiri tidak mampu memainkan satu alat musik pun.
Di tempat itu pula dulu Guiseppe Verdi, Robert Wagner, Guiseppe Tartini,
dan Antonio Vivaldi pernah mempersembahkan karya-karya mereka dan
kemudian meninggalkan alat musik mereka di tempat itu untuk diabadikan.
Maka KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus meraih penghargaan
masyarakat (musik) dunia walaupun agak sepi penghargaan dan apresiasi
memadai di negerinya sendiri.
KiaiKanjeng tampil di komplek Gereja Pugeran Yogyakarta bersama umat
Katolik dan menciptakan kolaborasi musikal dengan mereka, namun tetap
saling menjaga koridor akidah masing-masing. Cak Nun menyampaikan
dasar-dasar toleransi antar umat beragama, bahkan ikut memberikan
penjelasan tentang konsep jihad yang selama ini banyak disalahpahami.
Lebih jauh lagi Cak Nun juga menguraikan makna ideologis ungkapan assalamualaikum
sehingga mereka umat Katolik juga sedikit banyak ikut terbantu
memahami. Pentas itu sangat indah dan penuh suasana saling menghormati.
Karena itu, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus menjalankan
penghormatan kepada pemeluk agama lain, menciptakan iklim harmonis.
Tur KiaiKanjeng di Eropa ikut menaikkan citra positif tentang Islam,
di tengah kecenderungan global mendiskreditkan Islam. Simaklah pidato
Chancellor (Menteri Keuangan Inggris) Gordon Brown usai menyaksikan
penampilan KiaiKanjeng dalam The Muslim News Award of Islamic Excellence
2005 di London 23 Maret 2005. Martabat Islam dan Indonesia pun
terkerek. Begitu pula sebelumnya di Mesir. Orang-orang di sana
terkaget-kaget dan terpesona. Salah seorang pejabat di Mesir dibuat
kebakaran jenggot oleh kefasihan bahasa Arab juru bicara KiaiKanjeng dan
meminta perhatian lebih lanjut agar pendidikan bahasa disana
diperhatikan lebih serius lagi. Lagi-lagi citra Indonesia membaik dari
yang sebelumnya tidak begitu dikenal di sana. KiaiKanjeng adalah
kelompok musik plus mengerjakan diplomasi kultural mewakili Indonesia.
Beberapa waktu belakangan KiaiKanjeng, dalam sejumlah kehadirannya di
berbagai tempat di tanah air, mengaransir suatu nomor medlei berisi
lagu-lagu seperti Indonesia Pusaka, lagu-lagu daerah, dll untuk
membangkitkan semangat nasionalisme dan kekayaan kultural bangsa.
Sementara itu, Cak Nun panjang lebar mengurai potensi bangsa Indonesia
secara psikologis, historis, antropologis, ekogenetik, dll untuk
membangkitkan harga diri orang Indonesia di tengah semakin tak menjadi
fokusnya masalah nasionalisme ini dan di tengah harga diri bangsa yang
kurang sedap di mata dunia. Bahkan Ia meyakinkan banyak orang bahwa
orang Indonesia kelak akan menjadi pemimpin dunia. Maka, KiaiKanjeng
adalah kelompok musik plus mengerjakan penemuan kembali kesadaran akan
martabat Indonesia (re-nasionalisme), tentunya disertai harapan adanya
sinergi dari petugas-petugas negara yang seyogyanya mengurusi soal-soal
nasionalisme.
Walaupun berbagai alat musik dimainkan, namun gamelan sebenarnya bisa
disebut sebagai ciri khas piranti musikal KiaiKanjeng. Bahkan
KiaiKanjeng pada mulanya adalah nama konsep nada gamelan yang dipakai
Novi Budianto dkk, yang bersifat tidak pentatonis dan tidak pula
diatonis. Sehingga, meski wujud lahiriahnya sama persis dengan gamelan
Jawa pada umumnya, gamelan KiaiKanjeng sesungguhnya bukan lagi sekadar
gamelan Jawa. Ini memungkinkan eksplorasi musikal KiaiKanjeng merambah
ke mana saja aliran musik. Juga sangat sesuai dengan keperluan kultural
KiaiKanjeng dalam menyapa, menjamu, dan mengapresiai sedemikian ragamnya
segmen audiens KiaiKanjeng, mulai dari rakyat biasa, kalangan
profesional, tukang-tukang becak, kaum marjinal, sampai para pejabat
negara-negara asing. Mulai dari jenis musik Jawa, Arab, pop, jazz, dan
seterusnya. Maka, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus mencoba
menjalankan kemerdekaan alias tak terkungkung pada satu dua jenis aliran
musik.
Di dalam negeri, KiaiKanjeng sudah mengunjungi hampir lebih dari 376
kabupaten, 930 kecamatan, dan 1300 desa yang tersebar di seluruh pelosok
tanah air bertemu dengan aneka macam jenis masyarakat dengan segala
bentuk interaksi yang terbangun dengan mereka, dengan segala kemungkinan
fenomena yang dihadapi. Penampilan KK di alun-alun, di lapangan, atau
di tempat lain kerap dihadiri ribuan audiens. Karenanya, KiaiKanjeng
adalah kelompok musik yang memiliki jam terbang tak tertandingi dengan
jumlah hadirin yang amat banyak, yang meski demikian tidak merasa diri
sebagai artis, public figure, dan apalagi selebriti. Dan tidak
mau dianggap demikian. Itu sebabnya barangkali orang-orang KiaiKanjeng
tidak nongol di program infotainment televisi.
Senin, 11 Februari 2013
BIOGRAFI SINGKAT KH. MUHAMMAD KHOLIL, BANGKALAN
KH. Muhammad Kholil adalah sosok kyai kharismatik yang alim dalam
ilm agama, beliau dikenal sebagai ahli fiqih dan ilm alat (nahwu dan shorof),
beliau juga dikenal sebagai orang yang sakti werh sakdurunge winarah menurut
banyak pihak, dalam hal terakhir inilah beliau lebih dikenal. Dari tangan
dingin beliau lahir kiai-kiai ternama baik di pulau Madura maupun di jawa. Diantara
murid-murid beliau yang terkenal adalah:
1.
KH. Hasyim Asy’ari, pengash dan
pendiri Tebu ireng, jombang.
2.
KH. Wahab Hasbulloh, pengasuh dan
pendiri Tambak Beras, Jombang.
3.
KH. Bisri Syansuri, pengasuh dan
pendiri Denanyar, Jombang.
4.
KH. Bisri Musthofa, pendiri dan
pengasuh pesantren Rembang.
5.
KH. Abdl Karim, pendiri dan pengash
Lirboyo, Kediri.
6.
KH. Munawwir, pendiri dan pengasuh
pesantren Krapyak, Jogjakarta.
7.
Ir. Soekarno, presiden R.I. pertama.
KIPRAHNYA dalam
PEMBENTUKAN NU
Peran Kiai
Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal
ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari,
menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu
digarisbawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh
tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.
Mengulas
kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924,
saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar
(potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup
ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari
kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat
Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang
pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya
kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi)
yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi.
Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk
mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada
persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak
terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada
saat itu.
Namun, Kiai
Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut.
Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon
petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu,
Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati
kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang
masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini, Kiai
Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai
Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil
menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada
Kiai Hasyim ayat-ayat ini: Wama tilka biyaminika ya musa, Qala hiya
‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa abusyyu biha ‘ala ghanami waliya fiha
ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala
Khudzha wa la takhof sanu’iduha sirathal ula wadhumm yadaka ila janahika
takhruj baidha’a min ghiri su’in ayatan ukhra linuriyaka min ayatil
kubra.” Pesan Kiai Khalil.
As’ad segera
pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri
pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil
datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut
benar adanya.
“Kiai, saya
diutus Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.”
Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah
tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang
harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.
“Ada Kiai,”
jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Khalil.
Mendengar ayat
yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang
wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa
gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah.
Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikanJam’iyah semakin dimatangkan.
Hari berganti
hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang
diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul
lagi.
“Kiai, saya
diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad.
“Kiai juga
diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap
waktu,” tambah As’ad.
Sekali lagi,
pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk
mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Khalil
meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa
terwujud.
Baru setahun kemudian,
tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan
diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi
itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana
Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU
dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan
tasbih itu diterimanya dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini
sebagai salah satu Wali Allah.
KAROMAH KH. KHOLIL
Debat
kepiting dan Rajungan
Pada suatu hari, para ulama Mekah berkumpul
di Masjidil Haram untuk berdiskusi membahas masalah dan hukum Islam yang sedang
terjadi di Makah. Semua persoalan didiskusikan tanpa hambatan dan selalu
mendapatkan solusi dan kesepakatan semua Ulama tersebut. Akan tetapi pada
masalah mengenai halal atau haramnya kepiting dan rajungan terjadi banyak
pendapat dan tidak menemukan solusi.
Kyai Kholil pada waktu itu berada diantara
peserta diskusi sambil mendengarkan dengan tekun sambil sekali-sekali tersenyum
melihat silang pendapat para peserta diskusi. Melihat jalan buntu permasalahan
yang ada dihadapnya, Kyai Kholil minta izin untuk menawarkan solusi untuk
masalah tersebut. Akhirnya Kyai Kholil dipersilahkan untuk naik ke atas mimbar
oleh pimpinan diskusi.
Setelah tiba diatas mimbar, Kyai Kholil
berkata, “ Saudara sekalian, ketidaksepakatan kita dalam menentukan hukum
kepiting dan rajungan ini menurut saya disebabkan karena saudara sekalian belum
melihat secara pasti wujud kepiting dan rajungan” ujar kyai Kholil. Semua ulama
yg hadir dalam diskusi tersebut menyetujui keterangan kyai Kholil tersebut.
“ saudara sekalian, adapun wujud kepiting
seperti ini” ucap kyai Kholil sambil memegang kepiting yang masih basah.
“sedangkan yang rajungan seperti ini” lanjut Kyai Kholil sambil memegang
rajungan yang masih basah, seakan baru mengambil dari laut. Semua hadirin
merasa terpana dan suasana menjadi gaduh karna keanehan tersebut. Mereka hanya
bisa merasa heran dan bingung dari mana sang Kyai Kholil mendapatkankepiting dan
rajungan dengan sekejap saja. Maka setelah kejadian tersebut, masalah halal
atau haramnya kepiting dan rajungan telah menemukan solusinya. Sejak kejadian
itu, Kyai Kholil menjadi ulama yg disegani di antara ulama Masjidil Haram.
Kamis, 07 Februari 2013
JAMINAN MASUK SURGA
- Benar dalam bicara.
- Menepati janji kepada Allah, seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain, serta janji pada manusia, seperti nazar, sumpah, dan sebagainya.
- Tunaikan amanah.
- Tutup aurat dan jaga kemaluanmu.
- Tahan matamu dari yang haram (pornogarafi).
- Jaga tangan, seperti memukul bukan hak, menerima atau memberi yang haram, menyentuh yang bukan mahramnya. (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Baihaqi).
"Allahumma ya Allah tanamkan di hati kami kekuatan dan keindahan
iman, hiasilah hidup kami dengan kenikmatan ibadah dan kemuliaan akhlak,
serta selamatkan kami dari semua fitnah dan keinginan maksiat...
Aamiin".
Kamis, 24 Januari 2013
5 RAHASIA AGAR BAYI CERDAS
1. Jalin ikatan emosional yang erat. Ini bisa didapat dengan memberikan bayi naluri rasa aman dengan selalu mengupayakan skin to skin contact sejak
lahir. Selain itu, memberi pijatan lembut pada tubuhnya, memakaikan
sendiri pakaian bayi, serta berbicara pada bayi sejak awal dapat
menjadi pemicu naluri rasa aman bayi. Hindari bertengkar di hadapan bayi
karena akan menularkan rasa cemas pada bayi.
2. Sering bercakap-cakap dengan bayi. Semakin banyak kosa kata yang didengar sejak awal, makin dini anak mengembangkan kemampuan bicaranya. Anak berusia 3 tahun yang telah dapat berbicara dengan baik, dikatakan memiliki IQ yang lebih tinggi dibanding yang lain. Cobalah berbicara dalam nada yang bervariatif ketika berbicara dengan bayi.
3. Optimalkan ekspresi wajah saat berkomunikasi. Bayi dapat menangkap ekspresi wajah orang-orang di sekitarnya, semenjak masih berusia 3 hingga 4 bulan. Kemampuan membaca ekspresi wajah adalah dasar komunikasi non verbal anak. Jika perlu, kerap tunjukkan ekspresi wajah yang ceria dan bahagia sehingga bayi juga menjadi bayi yang bahagia.
4. Batasi penggunaan car seat dan stroller. Lebih baik bagi bayi digendong daripada dibaringkan di dalam stroller. Bahkan menggendong bayi dengan tangan lebih baik daripada menggendong dengan kain atau gendongan kangguru. Saat digendong dengan tangan, bayi dapat berotasi sesuka hatinya, bergerak lebih leluasa, dan dapat melihat ke banyak sisi seperti yang diinginkannya. Ini akan membuat bayi banyak belajar dari lingkungan sekitar.
5. Tunjukkan benda yang dituju sembari berbicara. Gunakan kalimat panjang yang menjelaskan berbagai benda yang Anda tunjuk. Kendati bayi belum paham apa yang dijelaskan orang dewasa, mereka akan mengingat apa yang tertangkap pendengarannya. Ini akan membuatnya lebih cepat bicara. Pada bayi berusia 9 bulan, mereka mulai memahami ketika Anda menunjuk ini dan itu sembari berbicara.
2. Sering bercakap-cakap dengan bayi. Semakin banyak kosa kata yang didengar sejak awal, makin dini anak mengembangkan kemampuan bicaranya. Anak berusia 3 tahun yang telah dapat berbicara dengan baik, dikatakan memiliki IQ yang lebih tinggi dibanding yang lain. Cobalah berbicara dalam nada yang bervariatif ketika berbicara dengan bayi.
3. Optimalkan ekspresi wajah saat berkomunikasi. Bayi dapat menangkap ekspresi wajah orang-orang di sekitarnya, semenjak masih berusia 3 hingga 4 bulan. Kemampuan membaca ekspresi wajah adalah dasar komunikasi non verbal anak. Jika perlu, kerap tunjukkan ekspresi wajah yang ceria dan bahagia sehingga bayi juga menjadi bayi yang bahagia.
4. Batasi penggunaan car seat dan stroller. Lebih baik bagi bayi digendong daripada dibaringkan di dalam stroller. Bahkan menggendong bayi dengan tangan lebih baik daripada menggendong dengan kain atau gendongan kangguru. Saat digendong dengan tangan, bayi dapat berotasi sesuka hatinya, bergerak lebih leluasa, dan dapat melihat ke banyak sisi seperti yang diinginkannya. Ini akan membuat bayi banyak belajar dari lingkungan sekitar.
5. Tunjukkan benda yang dituju sembari berbicara. Gunakan kalimat panjang yang menjelaskan berbagai benda yang Anda tunjuk. Kendati bayi belum paham apa yang dijelaskan orang dewasa, mereka akan mengingat apa yang tertangkap pendengarannya. Ini akan membuatnya lebih cepat bicara. Pada bayi berusia 9 bulan, mereka mulai memahami ketika Anda menunjuk ini dan itu sembari berbicara.
ANTARA MAJIKAN DAN PEMBANTU
Kita menyimpulkan bahwa karena tingkat pendidikan, karena bakat dan
kapasitas pribadi, maka Pak A mampu menjadi direktur, sementara Pak B
hanya mampu menjadi sopirnya.
Kalau misalnya saya seorang yang
sangat berkuasa, dan memerintahkan agar Pak Direktur mulai hari ini
menjadi sopir dan Pak Sopir menjadi direktur, maka Pak A mungkin berkata
begini: “Bukan saya tidak mampu, tapi saya tidak mau”.
Kita
menyimpulkan bahwa menjadi sopir atau buruh kecil apapun itu gampang,
sehingga sangat tidak menyulitkan pak direktur, pak menteri atau pak
komisaris untuk melakukannya.
Mereka sangat mampu, tapi seumur
hidup tak akan pernah mau, sehingga akhirnya ketidak-mauan itu
sesungguhnya adalah juga ketidak-mampuan.
Saya sendiri pasti tidak
mampu bekerja sebagai pembantu rumahtangga: seharian bekerja, mencuci,
memasak, siap disuruh apa saja, rela dibangunkan jam berapapun untuk
memenuhi keperluan juragan.
Maka bukan saja para pembantu rumah
tangga itu tidak kalah unggul atau tidak lebih rendah dibanding saya.
Saya malah curiga saya yang kalah unggul dibanding para pembantu
rumahtangga. Mereka tiap saat menjamin keberesan dan kegembiraan
rumahtangga saya, sedangkan saya tidak pernah bertanya apa bunyi
perasaan mereka.