Pages

Subscribe Twitter Facebook

Kamis, 14 Februari 2013

KISAH CAK NUN dan KIAI KANJENG

Menyebut nama KiaiKanjeng mengantar ingatan segera tertuju pada, pertama, Cak Nun, dan kedua, gamelan. Cak Nun? Ya, karena sesungguhnya harus diakui komposisi KiaiKanjeng — Cak Nun merupakan suatu gumpalan kekuatan yang dahsyat dan fenomenal. Komposisi inilah yang mengantarkan persenyawaan KiaiKanjeng — Cak Nun, sampai sejauh ini, mampu menembus begitu banyak dimensi nilai dan kehidupan yang belum tentu sanggup digapai kelompok-kelompok musik lainnya. Komposisi ini membuat KiaiKanjeng bukan sekadar kelompok musik. Minimal, itu disebabkan karena KiaiKanjeng adalah kelompok musik yang bisa digambarkan melalui kerangka plus. Kira-kira seperti ini maksudnya.
Tahun 1996, bersama Cak Nun, KiaiKanjeng meluncurkan album Kado Muhammad. Sambutan masyarakat sangat luar biasa. Hit dalam album itu adalah Tombo Ati yang dilantunkan Cak Nun diawali dengn bait-bait puisi. Shalawat dan syiir-syiir khasanah masyarakat Islam mendapat perhatian secara nasional. Lagu Tombo Ati dilantunkan di berbagai forum. KiaiKanjeng ikut menaikkan harga diri kultural umat Islam. Mungkin ada kaitannya, mungkin juga tidak, setelah itu banyak album-album ”religi” muncul dengan mengambil shalawat-shalawat atau syiir populer di masyarakat sebagai materinya. Dengan kata lain, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus menampilkan, menghargai, dan menghidupkan kekayaaan budaya Islam di tanah air (walaupun mungkin tidak disebut-sebut oleh generasi sesudahnya, yang juga meluncurkan album-album musik keislaman, dalam sejumlah wawancara mereka sebagai bagian dari kontinuitas sejarah musik Islam di Indonesia).
KiaiKanjeng pentas bersama Cak Nun di Bojonegoro untuk mempertemukan para blandong dengan pemerintah (Perhutani) yang saat itu sedang berkonflik. Begitu pula di Pati, antara masyarakat petani dengan pemerintah. Juga sewaktu KiaiKanjeng dan Cak Nun hadir di Kalimantan di antara masyarakat Dayak dan Sampit yang sedang panas-panasnya bertikai. Di situ KiaiKanjeng ikut memberikan pelumas jiwa melalui lagu, wirid, dan sholawat mendampingi proses pencegahan konflik vertikal-horisontal yang dilakukan oleh Cak Nun. Karena itu KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus ikut mengerjakan upaya pencegahan konflik.
KiaiKanjeng sudah mengembara jauh hingga di Napoli (7 April 2005) dan mendapat penghargaan luar biasa oleh masyarakat (musik) di sana, bahkan notasi KiaiKanjeng dari dua karyanya, Pembuko I dan Pembuko II, dan sebuah alat musiknya yakni Demung ditinggal di sana dan diabadikan di museum musik klasik dunia. Cak Nun bahkan disebut-sebut sebagai maestro, padahal ia sendiri tidak mampu memainkan satu alat musik pun. Di tempat itu pula dulu Guiseppe Verdi, Robert Wagner, Guiseppe Tartini, dan Antonio Vivaldi pernah mempersembahkan karya-karya mereka dan kemudian meninggalkan alat musik mereka di tempat itu untuk diabadikan. Maka KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus meraih penghargaan masyarakat (musik) dunia walaupun agak sepi penghargaan dan apresiasi memadai di negerinya sendiri.
KiaiKanjeng tampil di komplek Gereja Pugeran Yogyakarta bersama umat Katolik dan menciptakan kolaborasi musikal dengan mereka, namun tetap saling menjaga koridor akidah masing-masing. Cak Nun menyampaikan dasar-dasar toleransi antar umat beragama, bahkan ikut memberikan penjelasan tentang konsep jihad yang selama ini banyak disalahpahami. Lebih jauh lagi Cak Nun juga menguraikan makna ideologis ungkapan assalamualaikum sehingga mereka umat Katolik juga sedikit banyak ikut terbantu memahami. Pentas itu sangat indah dan penuh suasana saling menghormati. Karena itu, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus menjalankan penghormatan kepada pemeluk agama lain, menciptakan iklim harmonis.
Tur KiaiKanjeng di Eropa ikut menaikkan citra positif tentang Islam, di tengah kecenderungan global mendiskreditkan Islam. Simaklah pidato Chancellor (Menteri Keuangan Inggris) Gordon Brown usai menyaksikan penampilan KiaiKanjeng dalam The Muslim News Award of Islamic Excellence 2005 di London 23 Maret 2005. Martabat Islam dan Indonesia pun terkerek. Begitu pula sebelumnya di Mesir. Orang-orang di sana terkaget-kaget dan terpesona. Salah seorang pejabat di Mesir dibuat kebakaran jenggot oleh kefasihan bahasa Arab juru bicara KiaiKanjeng dan meminta perhatian lebih lanjut agar pendidikan bahasa disana diperhatikan lebih serius lagi. Lagi-lagi citra Indonesia membaik dari yang sebelumnya tidak begitu dikenal di sana. KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus mengerjakan diplomasi kultural mewakili Indonesia.
Beberapa waktu belakangan KiaiKanjeng, dalam sejumlah kehadirannya di berbagai tempat di tanah air, mengaransir suatu nomor medlei berisi lagu-lagu seperti Indonesia Pusaka, lagu-lagu daerah, dll untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan kekayaan kultural bangsa. Sementara itu, Cak Nun panjang lebar mengurai potensi bangsa Indonesia secara psikologis, historis, antropologis, ekogenetik, dll untuk membangkitkan harga diri orang Indonesia di tengah semakin tak menjadi fokusnya masalah nasionalisme ini dan di tengah harga diri bangsa yang kurang sedap di mata dunia. Bahkan Ia meyakinkan banyak orang bahwa orang Indonesia kelak akan menjadi pemimpin dunia. Maka, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus mengerjakan penemuan kembali kesadaran akan martabat Indonesia (re-nasionalisme), tentunya disertai harapan adanya sinergi dari petugas-petugas negara yang seyogyanya mengurusi soal-soal nasionalisme.
Walaupun berbagai alat musik dimainkan, namun gamelan sebenarnya bisa disebut sebagai ciri khas piranti musikal KiaiKanjeng. Bahkan KiaiKanjeng pada mulanya adalah nama konsep nada gamelan yang dipakai Novi Budianto dkk, yang bersifat tidak pentatonis dan tidak pula diatonis. Sehingga, meski wujud lahiriahnya sama persis dengan gamelan Jawa pada umumnya, gamelan KiaiKanjeng sesungguhnya bukan lagi sekadar gamelan Jawa. Ini memungkinkan eksplorasi musikal KiaiKanjeng merambah ke mana saja aliran musik. Juga sangat sesuai dengan keperluan kultural KiaiKanjeng dalam menyapa, menjamu, dan mengapresiai sedemikian ragamnya segmen audiens KiaiKanjeng, mulai dari rakyat biasa, kalangan profesional, tukang-tukang becak, kaum marjinal, sampai para pejabat negara-negara asing. Mulai dari jenis musik Jawa, Arab, pop, jazz, dan seterusnya. Maka, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus mencoba menjalankan kemerdekaan alias tak terkungkung pada satu dua jenis aliran musik.
Di dalam negeri, KiaiKanjeng sudah mengunjungi hampir lebih dari 376 kabupaten, 930 kecamatan, dan 1300 desa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bertemu dengan aneka macam jenis masyarakat dengan segala bentuk interaksi yang terbangun dengan mereka, dengan segala kemungkinan fenomena yang dihadapi. Penampilan KK di alun-alun, di lapangan, atau di tempat lain kerap dihadiri ribuan audiens. Karenanya, KiaiKanjeng adalah kelompok musik yang memiliki jam terbang tak tertandingi dengan jumlah hadirin yang amat banyak, yang meski demikian tidak merasa diri sebagai artis, public figure, dan apalagi selebriti. Dan tidak mau dianggap demikian. Itu sebabnya barangkali orang-orang KiaiKanjeng tidak nongol di program infotainment televisi.

0 komentar:

Posting Komentar