Pages

Subscribe Twitter Facebook

Rabu, 27 Februari 2013

CINTA MENURUT PANDANGAN CAK NUN

"Kalau engkau mencari kebenaran maka jalannya bukan cinta, apalagi kebencian. Jalan menuju kebenaran adalah ilmu. Kalau menilai sesuatu itu dengan ilmu, bukan dengan benci atau senang. Jadi cinta itu maqamnya lain, thariqahnya beda, wasilahnya beda. Meski setelah lengkap, akan bertemu juga dengan cinta," demikian ungkap Cak Nun mengawali uraiannya di majelis ilmu Gambang Syafaat 25 Februari 2008 di aula Masjid Baiturrahman Simpang Lima Semarang.

Uraian Cak Nun tersebut merupakan respons atas narasi dua Kiai yang malam itu hadir yaitu KH Nuril Arifin dan KH Budi Hardjono. Keduanya memaparkan semesta cinta. Cinta kepada Allah. Cinta kepada Rasul. Cinta kepada para kekasih Allah. Cinta kepada sesama. Gus Nuril, sapaan akrab KH Nuril Arifin, misalnya, yang bersurban putih dengan rambut gondrong tergerai mensinyalir sekarang banyak yang mengaku sufi seperti terlihat dari kostumnya. Detailnya, Gus Nuril juga memberikan contoh model-model orang yang bermaksud menempuh sufisme tetapi malah tidak pas sembari menceritakan keunikan sosok sufi agung Syaikh Abdul Qadir Al Jilani, utamanya dalam hubungannya dengan murid-murid Syaikh Abdul Qadir. Bagi Gus Nuril, Syariat adalah jalan besar, sedang tasawuf adalah jalan kecil tetapi berliku-liku.

Sementara itu, merespons Gus Nuril, Kiai Budi segera melantunkan judan judan ya allah khubban khubban ya Allah, sebuah senandung cinta kepada Allah. Baru setelah itu Kiai Budi mengembara memetik ilmu-ilmu cinta dari para pesohor seperti Iqbal dan Jalaluddin Rumi. Tentu dengan gayanya yang khas dan mengundang tawa.

Usai Kiai Budi, giliran tamu dari Hizbut Tahrir Indonesia DPW Semarang. Mas Abdullah, sang juru bicara, memberikan tantangan menarik. Menurutnya, cinta itu butuh bukti. Dan yang bisa membuktikan adalah diri kita dan Allah. Begitu pula dengan cinta kepada Rasul. Lantas Mas Abdullah mengajak para hadirin untuk membutikan cinta kepada Nabi dalam konteks dimuatnya kembali gambar atau kartun-kartun yang menghina Nabi oleh sebelas media massa di denmark, termasuk Jyllands-Posten pada 13 Februari 2008. Seperti diketahui, Hizbut Tahrir mengeluarkan pernyataan resmi mengutuk keras pemuatan ulang kartun Nabi Muhammad itu.

Menanggapi ketiga pembicara itu, Cak Nun menegaskan prinsip dasar bahwa seluruh gejala alam dan peradaban itu memiliki sifat-sifat yaitu materi, energi, dan frekuensi. Cak Nun mencontohkan bahwa pelaksanaan khilafah harus dipertimbangkan apakah akan  diletakkan pada tataran energi, frekuensi, atau materi. Terkait dengan pemuatan kartun Nabi, Cak Nun mengajak para jamaah untuk membuka kembali sejarah perjuangan Nabi Muhammad.

Cak Nun mengingatkan untuk menilik hijrah Nabi ke Thaif. Di sana Rasul dilempari batu dan dilempari kotoran oleh orang-orang kafir. Dan Nabi justru mendoakan mereka. Allahummahdi qaumi fainnahum la ya'lamun (Ya Allah berilah petunjuk kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengerti). Cak Nun kemudian bertanya kepada jamaah, “Kira-kira Rasul kalau tahu karikatur itu, apa ya diucapkannya?", Jamaah menjawab, "Allahummahdi qaumi..." Jika seperti itu, beranikah Anda tidak bilang seperti itu? Beranikah Anda mengucapkan sesuatu yang berbeda dengan ucapan Nabi?" tanya Cak Nun. Lebih jauh, Cak Nun menerangkan, "bagi orang yang tahu bahwa cinta Allah kepada Islam begitu besar, maka tak ada kesedihan. Itu layaknya kakang kawah adi ari-ari. Tahun 2012 dan 2015 akan terjadi sesuatu."

Masih kata Cak Nun, "siapa orang kafir yang paling melawan Rasul. Abu Jahal. Abu Sufyan, dll. Pada saat fathu makkah, Rasul berbicara di depan orang-orang Islam dan musuh-musuh mereka. Hadzal yaum laisa yaumul malhamah wa lakin hadzal yaum yaumul markhamah wa antumut tulaqa'. Hari ini bukanlah hari kebencian, tetapi hari ini adalah hari kasih sayang. Dan kalian (para tawanan) adalah orang-orang yang saya bebaskan/merdekakan....," tutur Cak Nun.

Puncaknya, Cak Nun berharap, "Saya ingin dua kalimat Rasul itu muncul secara resmi oleh HTI. Cinta saya kepada Rasul tidak berkurang sedikit pun oleh penghinaan itu. Kasih sayang Rasul lebih luas dari semesta. Rasul bersegera kepada Allah untuk memintakan ampun bagi mereka. Cinta jangan membikin gupuh. Cinta jangan sampai bikin gampang jatuh, jangan gampang marah. HTI jangan terlalu materi. PKS saja sudah mulai ke Frekuensi. Kalau bicara syariat, syariat itu materi. Syariat ojo diomongno (jangan dibicara-bicarakan). Lakunono (Laksanakan). Jadikan ia energi sejarah. Tetapi saya faham dan mengerti semangat Anda.... Dunia lebih kecil dari Anda. Jangan Anda lebih kecil. Pangkulah dunia."

Melanjutkan pembicaraan tentang cinta, Cak Nun menguraikan, "menurut saya, jangan sampai kita terjebak pada madzhab. Siapa yang paling cinta dan dicintai Allah, yaitu Muhammad. Puncak gunung cinta adalah Muhammad. Ujung-ujunganya ketemu Rasulullah. Rasul juga madinatul ilmi. Di puncak ilmu, kita juga bertemu Rasulullah. Musa adalah lambang kebenaran (al-Haq), maka dia ingin sekali memandang "secara ilmiah" wajah Allah. Dan tidak bisa. Sementara Isa adalah lambang cinta.

Adapun Rasulullah adalah amir atau manajer yang mengerti kapan cinta ditonjolkan dan kapan ilmu ditekankan. Dalam kasus Pak Harto, kita salah-salah menempatkan cinta dan ilmu….Kalau kepada Allah pakailah cinta. Mencari Allah dengan ilmu tidak bisa. Kepada Allah ilmu tak bisa diandalkan. Kekayaan tak bisa. Kepada Allah setorlah zuhud serta setor rasa bodoh. Sementara secara horisontal, diperlukan ilmu, maka ayat pertama berbunyi Iqra' bismi rabbikal ladzi khalaq...alladzi allama bil qalam. Qalam adalah perlambang yang harus dicari dalam hubungan dengan maintenance pendidikan. Yang dibutuhkan untuk ilmu adalah qalam. Jadi, jangan madzhabkan cinta."

Lebih jauh Cak Nun menambahkan, "sifat materi itu adalah penjumlahan atau pengurangan. Sedang energi/ilmu bersifat bertambah bertambah. Cintamu kepada Indonesia itu materi atau energi? Cinta tak bisa dibagi 30% untuk ini, 40% untuk itu, dan sisanya untuk yang lain. Yang benar adalah cinta Indonesia 100%, cinta anak 100%, cinta kepada Allah juga 100%. Itu semua karena cinta bukan materi. Cinta kepada Anak 100% tidak bersaing dengan cinta kepada Allah. Itulah sebabnya, sering Islam dipersaingkan demokrasi. Itu pula yang membikin HTI marah....."

Malam itu benar-benar Gambang Syafaat bertabur ilmu dan kasih sayang Allah. Semua yang hadir berada dalam hubungan ukhuwah yang saling memuliakan. Termasuk Pak Harwanto Dahlan yang menambah mesra dan hidup forum malam ini. Juga kawan-kawan IKAMABA Voice. Lebih-lebih Mbak Elin dari Swedia yang sedang riset tentang Sufisme dan politik di Indonesia. Pastilah tema yang dibicarakan pada kesempatan itu sangat relevan dan pas dengan kajiannya. Last but not least, dua Kiai kita, Kiai Budi dan Gus Nuril memperlihatkan kemesraan yang dilandasi ilmu dan cinta.

Kamis, 21 Februari 2013

INDONESIA TAK BOLEH MENITI JALAN LIBERIA

Liberia. Sebuah negeri di Afrika Barat. Penduduknya hanya 4,3 juta jiwa. Saat ini pendapatan per kapitanya hanya 200 dolar setahun. Tingkat buta hurufnya 44,13 persen (2009). Penduduk di bawah garis kemiskinan 56,3 persen (2010). Bandingkan dengan Indonesia. Pendapatan per kapitanya hampir mencapai 4.000 dolar AS setahun. Tingkat buta huruf hanya sekitar 7 persen. Penduduk di bawah garis kemiskinan 12 persen (29 juta jiwa).

Itu kondisi saat ini. Siapa sangka pada 1980 pendapatan per kapita Liberia 1.765 dolar AS. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia saat itu. Pada akhir Orde Baru saja, pendapatan perkapita Indonesia masih kisaran 1.000 dolar AS. Sebelum runtuh, Liberia sudah masuk kategori negeri berpendapatan menengah. Rupanya ada yang salah dalam pengelolaan negeri itu. Angka-angka makro tampak bagus. Namun di tingkat mikro sangat mengerikan. Saat itu, 3,9 persen penduduk mengontrol 60 persen ekonomi Liberia. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di angka 7 persen per tahun sejak 1955 hingga 1975 pun lebih dipacu oleh perusahaan-perusahaan asing. Mereka bergelut di sektor tambang bijih besi, karet, dan kayu. Rata-rata tingkat pendidikan penduduknya pun hanya 1,3 tahun.

Ketidakadilan ekonomi itu memicu konflik politik. Dimulai dengan kudeta militer pada 1980. Sejak 1989 terjadi perang saudara, berakhir pada 2003. Ekonomi merosot 90 persen. Liberia berubah dari negara berpendapatan menengah menjadi negeri terbelakang.

Kini Indonesia sedang bangga-bangganya dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten di kisaran 6-7 persen, lonjakan pendapatan per kapita, menurunnya angka kemiskinan. Jumlah penduduk yang besar, sumberdaya alam berlimpah, stabilitas politik dan keamanan, serta surplus demografi. Indonesia sedang menjadi pusat perhatian dunia. Namun ada yang mengkhawatirkan, walau tak sekontras Liberia di masa lalu. Indeks gini rasio saat ini 0,41. Sudah di atas akhir Orde Lama, yaitu 0,40. Jurang antara yang kaya dan miskin makin lebar. Jauh lebih lebar dibandingkan di masa Orde Baru yang 0,32. Ada 99 juta penduduk miskin (berpendapatan Rp 250 ribu per kapita per bulan) dan hampir miskin (Rp 370 ribu). Mereka tertinggal oleh 100 juta penduduk kelas menengah (Rp 750 ribu) dan 50 juta penduduk kelas atas.

Tentu situasinya tak sedramatis Liberia. Tingkat buta huruf di Indonesia sangat rendah. Peran asing pun tak dominan. Namun kecenderungan meningkatnya jurang kaya-miskin hingga kini belum ada solusi yang sistematis. Harus diakui, pemerintah lebih mengejar pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan pemerataan ekonomi. Lebih parah dibandingkan masa Orde Baru. Program Kredit Usaha Rakyat yang ditujukan untuk masyarakat hampir miskin (70 juta jiwa), ternyata lebih banyak diserap kelas menengah. Pada sisi lain, demokrasi di tengah ketidaksetaraan sosial-ekonomi hanya melahirkan oligarki. Demokrasi menjadi dibajak dan dikendalikan kaum kapitalis. Demokrasi yang semestinya menjadi instrumen kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial justru menjadi pengesahan terhadap berbagai praktik curang.

Kita bisa merasakan ketidakberdayaan publik terhadap korupsi yang makin menggila. Publik juga tak berdaya terhadap berbagai kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dominasi asing di sektor migas, banjir buah impor, sulitnya berswasembada pangan. Jika kita rajin mencatat daftar orang kaya yang dirilis majalah Forbes maka kita akan mendapati total penguasaan ekonomi segelintir orang terhadap ekonomi nasional. Angkanya bisa fantastis. Kita juga bisa menyaksikan hanya partai yang didukung konglomerat yang bisa meraup kursi besar. Hanya kandidat yang didukung konglomerat yang bisa menjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Lalu mereka akan mengeksploitasi APBN/APBD, menguasai perizinan dan konsesi, dan seterusnya.

Jika semua kecenderungan itu tak kita hentikan maka tunggu kehancurannya saja, seperti Liberia. Bukankah kita sudah merasakan makin banyaknya pengemis? Bukankah kita sudah menyaksikan absennya kemanusiaan dan kepemimpinan ketika ada ayah yang harus keliling di delapan rumah sakit hingga akhirnya bayi merahnya mati? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya anak-anak yang tak bisa melanjutkan sekolah? Bukankah kita menyaksikan makin banyaknya gelandangan? Bukankah kita menyaksikan makin tak mampunya penduduk desa untuk bepergian ke kota? Kita jangan berharap pada kebaikan pemimpin, karena kita tak memiliki pemimpin seperti Mahathir Mohamad, Lee Kuan Yew, atau Recep Tayip Erdogan. Rakyat lah yang harus mengubahnya. Kita semua.

Pada hakikatnya sistem kita sudah bagus, perangkat hukum kita sudah mencukupi. Yang tidak kita punya adalah pemimpin yang baik. Jangan pula salah sangka, kita butuh pemimpin yang kuat. Sistem demokrasi tak mensyaratkan itu. Mari kita membangun kesadaran bahwa semua itu dimulai dari kita: pilihlah pemimpin yang baik. Bukan yang kaya, bukan yang pandai, bukan yang kuat.

Dikutip dari ROL, dan ditulis oleh Nasihin Masha

Kamis, 14 Februari 2013

KISAH CAK NUN dan KIAI KANJENG

Menyebut nama KiaiKanjeng mengantar ingatan segera tertuju pada, pertama, Cak Nun, dan kedua, gamelan. Cak Nun? Ya, karena sesungguhnya harus diakui komposisi KiaiKanjeng — Cak Nun merupakan suatu gumpalan kekuatan yang dahsyat dan fenomenal. Komposisi inilah yang mengantarkan persenyawaan KiaiKanjeng — Cak Nun, sampai sejauh ini, mampu menembus begitu banyak dimensi nilai dan kehidupan yang belum tentu sanggup digapai kelompok-kelompok musik lainnya. Komposisi ini membuat KiaiKanjeng bukan sekadar kelompok musik. Minimal, itu disebabkan karena KiaiKanjeng adalah kelompok musik yang bisa digambarkan melalui kerangka plus. Kira-kira seperti ini maksudnya.
Tahun 1996, bersama Cak Nun, KiaiKanjeng meluncurkan album Kado Muhammad. Sambutan masyarakat sangat luar biasa. Hit dalam album itu adalah Tombo Ati yang dilantunkan Cak Nun diawali dengn bait-bait puisi. Shalawat dan syiir-syiir khasanah masyarakat Islam mendapat perhatian secara nasional. Lagu Tombo Ati dilantunkan di berbagai forum. KiaiKanjeng ikut menaikkan harga diri kultural umat Islam. Mungkin ada kaitannya, mungkin juga tidak, setelah itu banyak album-album ”religi” muncul dengan mengambil shalawat-shalawat atau syiir populer di masyarakat sebagai materinya. Dengan kata lain, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus menampilkan, menghargai, dan menghidupkan kekayaaan budaya Islam di tanah air (walaupun mungkin tidak disebut-sebut oleh generasi sesudahnya, yang juga meluncurkan album-album musik keislaman, dalam sejumlah wawancara mereka sebagai bagian dari kontinuitas sejarah musik Islam di Indonesia).
KiaiKanjeng pentas bersama Cak Nun di Bojonegoro untuk mempertemukan para blandong dengan pemerintah (Perhutani) yang saat itu sedang berkonflik. Begitu pula di Pati, antara masyarakat petani dengan pemerintah. Juga sewaktu KiaiKanjeng dan Cak Nun hadir di Kalimantan di antara masyarakat Dayak dan Sampit yang sedang panas-panasnya bertikai. Di situ KiaiKanjeng ikut memberikan pelumas jiwa melalui lagu, wirid, dan sholawat mendampingi proses pencegahan konflik vertikal-horisontal yang dilakukan oleh Cak Nun. Karena itu KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus ikut mengerjakan upaya pencegahan konflik.
KiaiKanjeng sudah mengembara jauh hingga di Napoli (7 April 2005) dan mendapat penghargaan luar biasa oleh masyarakat (musik) di sana, bahkan notasi KiaiKanjeng dari dua karyanya, Pembuko I dan Pembuko II, dan sebuah alat musiknya yakni Demung ditinggal di sana dan diabadikan di museum musik klasik dunia. Cak Nun bahkan disebut-sebut sebagai maestro, padahal ia sendiri tidak mampu memainkan satu alat musik pun. Di tempat itu pula dulu Guiseppe Verdi, Robert Wagner, Guiseppe Tartini, dan Antonio Vivaldi pernah mempersembahkan karya-karya mereka dan kemudian meninggalkan alat musik mereka di tempat itu untuk diabadikan. Maka KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus meraih penghargaan masyarakat (musik) dunia walaupun agak sepi penghargaan dan apresiasi memadai di negerinya sendiri.
KiaiKanjeng tampil di komplek Gereja Pugeran Yogyakarta bersama umat Katolik dan menciptakan kolaborasi musikal dengan mereka, namun tetap saling menjaga koridor akidah masing-masing. Cak Nun menyampaikan dasar-dasar toleransi antar umat beragama, bahkan ikut memberikan penjelasan tentang konsep jihad yang selama ini banyak disalahpahami. Lebih jauh lagi Cak Nun juga menguraikan makna ideologis ungkapan assalamualaikum sehingga mereka umat Katolik juga sedikit banyak ikut terbantu memahami. Pentas itu sangat indah dan penuh suasana saling menghormati. Karena itu, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus menjalankan penghormatan kepada pemeluk agama lain, menciptakan iklim harmonis.
Tur KiaiKanjeng di Eropa ikut menaikkan citra positif tentang Islam, di tengah kecenderungan global mendiskreditkan Islam. Simaklah pidato Chancellor (Menteri Keuangan Inggris) Gordon Brown usai menyaksikan penampilan KiaiKanjeng dalam The Muslim News Award of Islamic Excellence 2005 di London 23 Maret 2005. Martabat Islam dan Indonesia pun terkerek. Begitu pula sebelumnya di Mesir. Orang-orang di sana terkaget-kaget dan terpesona. Salah seorang pejabat di Mesir dibuat kebakaran jenggot oleh kefasihan bahasa Arab juru bicara KiaiKanjeng dan meminta perhatian lebih lanjut agar pendidikan bahasa disana diperhatikan lebih serius lagi. Lagi-lagi citra Indonesia membaik dari yang sebelumnya tidak begitu dikenal di sana. KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus mengerjakan diplomasi kultural mewakili Indonesia.
Beberapa waktu belakangan KiaiKanjeng, dalam sejumlah kehadirannya di berbagai tempat di tanah air, mengaransir suatu nomor medlei berisi lagu-lagu seperti Indonesia Pusaka, lagu-lagu daerah, dll untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan kekayaan kultural bangsa. Sementara itu, Cak Nun panjang lebar mengurai potensi bangsa Indonesia secara psikologis, historis, antropologis, ekogenetik, dll untuk membangkitkan harga diri orang Indonesia di tengah semakin tak menjadi fokusnya masalah nasionalisme ini dan di tengah harga diri bangsa yang kurang sedap di mata dunia. Bahkan Ia meyakinkan banyak orang bahwa orang Indonesia kelak akan menjadi pemimpin dunia. Maka, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus mengerjakan penemuan kembali kesadaran akan martabat Indonesia (re-nasionalisme), tentunya disertai harapan adanya sinergi dari petugas-petugas negara yang seyogyanya mengurusi soal-soal nasionalisme.
Walaupun berbagai alat musik dimainkan, namun gamelan sebenarnya bisa disebut sebagai ciri khas piranti musikal KiaiKanjeng. Bahkan KiaiKanjeng pada mulanya adalah nama konsep nada gamelan yang dipakai Novi Budianto dkk, yang bersifat tidak pentatonis dan tidak pula diatonis. Sehingga, meski wujud lahiriahnya sama persis dengan gamelan Jawa pada umumnya, gamelan KiaiKanjeng sesungguhnya bukan lagi sekadar gamelan Jawa. Ini memungkinkan eksplorasi musikal KiaiKanjeng merambah ke mana saja aliran musik. Juga sangat sesuai dengan keperluan kultural KiaiKanjeng dalam menyapa, menjamu, dan mengapresiai sedemikian ragamnya segmen audiens KiaiKanjeng, mulai dari rakyat biasa, kalangan profesional, tukang-tukang becak, kaum marjinal, sampai para pejabat negara-negara asing. Mulai dari jenis musik Jawa, Arab, pop, jazz, dan seterusnya. Maka, KiaiKanjeng adalah kelompok musik plus mencoba menjalankan kemerdekaan alias tak terkungkung pada satu dua jenis aliran musik.
Di dalam negeri, KiaiKanjeng sudah mengunjungi hampir lebih dari 376 kabupaten, 930 kecamatan, dan 1300 desa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bertemu dengan aneka macam jenis masyarakat dengan segala bentuk interaksi yang terbangun dengan mereka, dengan segala kemungkinan fenomena yang dihadapi. Penampilan KK di alun-alun, di lapangan, atau di tempat lain kerap dihadiri ribuan audiens. Karenanya, KiaiKanjeng adalah kelompok musik yang memiliki jam terbang tak tertandingi dengan jumlah hadirin yang amat banyak, yang meski demikian tidak merasa diri sebagai artis, public figure, dan apalagi selebriti. Dan tidak mau dianggap demikian. Itu sebabnya barangkali orang-orang KiaiKanjeng tidak nongol di program infotainment televisi.

Senin, 11 Februari 2013

BIOGRAFI SINGKAT KH. MUHAMMAD KHOLIL, BANGKALAN


KH. Muhammad Kholil adalah sosok kyai kharismatik yang alim dalam ilm agama, beliau dikenal sebagai ahli fiqih dan ilm alat (nahwu dan shorof), beliau juga dikenal sebagai orang yang sakti werh sakdurunge winarah menurut banyak pihak, dalam hal terakhir inilah beliau lebih dikenal. Dari tangan dingin beliau lahir kiai-kiai ternama baik di pulau Madura maupun di jawa. Diantara murid-murid beliau yang terkenal adalah:
1.      KH. Hasyim Asy’ari, pengash dan pendiri Tebu ireng, jombang.
2.      KH. Wahab Hasbulloh, pengasuh dan pendiri Tambak Beras, Jombang.
3.      KH. Bisri Syansuri, pengasuh dan pendiri Denanyar, Jombang.
4.      KH. Bisri Musthofa, pendiri dan pengasuh pesantren Rembang.
5.      KH. Abdl Karim, pendiri dan pengash Lirboyo, Kediri.
6.      KH. Munawwir, pendiri dan pengasuh pesantren Krapyak, Jogjakarta.
7.      Ir. Soekarno, presiden R.I. pertama.
KIPRAHNYA dalam PEMBENTUKAN NU

Peran Kiai Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.

Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.

Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.

Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu, Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.

“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini: Wama tilka biyaminika ya musa, Qala hiya ‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa abusyyu biha ‘ala ghanami waliya fiha ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala Khudzha wa la takhof sanu’iduha sirathal ula wadhumm yadaka ila janahika takhruj baidha’a min ghiri su’in ayatan ukhra linuriyaka min ayatil kubra.” Pesan Kiai Khalil.

As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya.

“Kiai, saya diutus Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.

“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.

“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Khalil.

Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikanJam’iyah semakin dimatangkan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.

“Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad.

“Kiai juga diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.

Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Khalil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.

Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.

Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.

KAROMAH KH. KHOLIL 

Debat kepiting dan Rajungan
    Pada suatu hari, para ulama Mekah berkumpul di Masjidil Haram untuk berdiskusi membahas masalah dan hukum Islam yang sedang terjadi di Makah. Semua persoalan didiskusikan tanpa hambatan dan selalu mendapatkan solusi dan kesepakatan semua Ulama tersebut. Akan tetapi pada masalah mengenai halal atau haramnya kepiting dan rajungan terjadi banyak pendapat dan tidak menemukan solusi.
    Kyai Kholil pada waktu itu berada diantara peserta diskusi sambil mendengarkan dengan tekun sambil sekali-sekali tersenyum melihat silang pendapat para peserta diskusi. Melihat jalan buntu permasalahan yang ada dihadapnya, Kyai Kholil minta izin untuk menawarkan solusi untuk masalah tersebut. Akhirnya Kyai Kholil dipersilahkan untuk naik ke atas mimbar oleh pimpinan diskusi.
    Setelah tiba diatas mimbar, Kyai Kholil berkata, “ Saudara sekalian, ketidaksepakatan kita dalam menentukan hukum kepiting dan rajungan ini menurut saya disebabkan karena saudara sekalian belum melihat secara pasti wujud kepiting dan rajungan” ujar kyai Kholil. Semua ulama yg hadir dalam diskusi tersebut menyetujui keterangan kyai Kholil tersebut.
    “ saudara sekalian, adapun wujud kepiting seperti ini” ucap kyai Kholil sambil memegang kepiting yang masih basah. “sedangkan yang rajungan seperti ini” lanjut Kyai Kholil sambil memegang rajungan yang masih basah, seakan baru mengambil dari laut. Semua hadirin merasa terpana dan suasana menjadi gaduh karna keanehan tersebut. Mereka hanya bisa merasa heran dan bingung dari mana sang Kyai Kholil mendapatkankepiting dan rajungan dengan sekejap saja. Maka setelah kejadian tersebut, masalah halal atau haramnya kepiting dan rajungan telah menemukan solusinya. Sejak kejadian itu, Kyai Kholil menjadi ulama yg disegani di antara ulama Masjidil Haram.

Kamis, 07 Februari 2013

JAMINAN MASUK SURGA

Jaminlah untukku enam hal darimu, aku jamin surga untukmu.
  1. Benar dalam bicara.
  2. Menepati janji kepada Allah, seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain, serta janji pada manusia, seperti nazar, sumpah, dan sebagainya.
  3. Tunaikan amanah.
  4. Tutup aurat dan jaga kemaluanmu.
  5. Tahan matamu dari yang haram (pornogarafi).
  6. Jaga tangan, seperti memukul bukan hak, menerima atau memberi yang haram, menyentuh yang bukan mahramnya. (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Baihaqi).
"Allahumma ya Allah tanamkan di hati kami kekuatan dan keindahan iman, hiasilah hidup kami dengan kenikmatan ibadah dan kemuliaan akhlak, serta selamatkan kami dari semua fitnah dan keinginan maksiat... Aamiin".